Ayat bacaan: Mazmur 40:3
====================
"Ia memberikan nyanyian baru dalam mulutku untuk memuji Allah kita. Banyak orang akan melihatnya dan menjadi takut, lalu percaya kepada Tuhan."
====================
"Ia memberikan nyanyian baru dalam mulutku untuk memuji Allah kita. Banyak orang akan melihatnya dan menjadi takut, lalu percaya kepada Tuhan."
Satu
hal yang saya suka ketika bangun pagi adalah kicauan burung.
Burung-burung berkicau riang bagai penyanyi yang bersukacita menyambut
datangnya hari yang baru. Pagi terasa sangat indah dengan hadirnya suara
burung-burung ini. Begitu merdu, hingga sukacita mereka mampu membawa
perasaan bahagia dan damai dalam hati. Pagi ini saya bangun cepat karena
saya punya jadwal mengajar pagi, dan saya mengambil waktu sejenak untuk
menikmati udara pagi yang segar, menatap cerahnya hari baru diiringi
suara kicauan burung-burung dan mengucap syukur kepada Tuhan atas
keindahan hari di pagi ini. Jika kita tanyakan mengapa dan untuk apa
sebenarnya burung bernyanyi kepada ahli biologi maka mereka akan
menjawab: karena mereka bisa dan harus. Secara naluri burung bernyanyi
guna menarik perhatian pasangannya dan untuk mempertahankan teritori
mereka. Tapi lebih dari fungsi burung bernyanyi ini, apa yang kita
dengar adalah lebih dari itu. Bagi saya pribadi ini mengingatkan saya
betapa alam ini diciptakan Tuhan secara luar biasa indahnya dan penuh
dengan nyanyian.Organ yang membuat burung bernyanyi itu bernama syrinx, dan bukan larynx seperti yang dimiliki manusia. Syrinx terletak lebih dalam di dalam tubuh burung jika dibandingkan larynx pada manusia. Syrinx menurut para ahli biologi adalah kotak suara burung yang menimbulkan suara kicauan merdu seperti nyanyian ini. Meski secara ilmiah demikian, masih banyak hal yang tidak bisa kita ketahui dengan pasti mengapa suara yang keluar bisa sedemikian merdu. Sebagai orang awam, apabila pertanyaan mengapa burung bernyanyi ditanyakan pada saya, saya akan menjawab bahwa itu adalah anugrah Tuhan yang sangat indah. Tuhan menaruh lagu dalam hati mereka, membuat mereka berkicau riang atau bernyanyi lagu yang terdengar indah di telinga kita.
Jika Tuhan menaruh lagu di dalam hati burung, hal yang sama sebenarnya juga diberikan Tuhan pada kita dan itu bisa kita baca dalam kitab Mazmur. "Ia memberikan nyanyian baru dalam mulutku untuk memuji Allah kita. Banyak orang akan melihatnya dan menjadi takut, lalu percaya kepada Tuhan." (Mazmur 40:3). Lihatlah dengan jelas Alkitab mengatakan bahwa Tuhan sendiri yang memberi inspirasi pada kita, meletakkan nyanyian baru dalam mulut kita untuk kembali dipakai memujiNya. Sama seperti kita yang menyukai lagu, Tuhan pun demikian. God loves music. Bagi saya musik adalah salah satu anugerahNya yang terindah, karena saya tidak bisa membayangkan bagaimana suram dan keringnya hidup jika tidak ada musik atau lagu di dalamnya. Dan lihat pula bahwa lewat lagu kita bisa membawa orang untuk mengenalNya, bertobat dan percaya kepadaNya. Sampai hari ini hal tersebut masih kerap terjadi. Begitu banyaknya orang yang dijamah Tuhan lewat lagu-lagu pujian atau penyembahan, bahkan lagu-lagu biasa yang inspiratif. Semua itu berasal dari Tuhan, dan hendaknya itu kita pakai kembali untuk memuliakan Tuhan.
Begitu banyak ciptaan Tuhan yang kita nikmati setiap saat, begitu banyak karyaNya yang sangat indah, sehingga sudah selayaknya kita memberikan pujian kepada Tuhan, dan salah satunya adalah lewat nyanyian penuh sukacita. Kitab Mazmur berbicara banyak tentang keindahan ciptaan Tuhan dan semua berkatNya, perlindunganNya dan kasihNya bagi kita, dan berkali-kali pula dalam kitab Mazmur kita mendapatkan ajakan untuk bernyanyi memanjatkan syukur bagi Tuhan. "Aku hendak menyanyi bagi TUHAN selama aku hidup, aku hendak bermazmur bagi Allahku selagi aku ada." (Mazmur 104:33) Ajakan untuk memuji segala perbuatan ajaib Tuhan lewat nyanyian baru pun berkumandang di banyak ayat pada Mazmur. "Nyanyikanlah nyanyian baru bagi TUHAN, sebab Ia telah melakukan perbuatan-perbuatan yang ajaib; keselamatan telah dikerjakan kepada-Nya oleh tangan kanan-Nya, oleh lengan-Nya yang kudus." (Mazmur 98:1). Lalu Pemazmur pun berseru: "Bersorak-soraklah bagi TUHAN, hai seluruh bumi, bergembiralah, bersorak-sorailah dan bermazmurlah!" Dalam bahasa Inggrisnya dikatakan: "Make a joyful noise to the Lord, all the earth; break forth and sing for joy, yes, sing praises!" (Mazmur 98:4). Sing praises, nyanyikan puji-pujian bagiNya. Itu jauh lebih baik ketimbang kita hanya mengisi mulut kita dengan keluh kesah, umpatan atau hal-hal negatif lainnya. Selain itu bisa meneguhkan semangat kita dan membuat kita penuh sukacita, itupun akan besar artinya bagi Tuhan.
Kicauan merdu burung yang saya dengar hari ini menjadi peringatan bagi saya bahwa sebenarnya kita pun telah dianugrahkan oleh Tuhan suara dengan nyanyian-nyanyian yang bisa kita pakai untuk memuliakan Tuhan.Kita bisa berterimakasih atas semua berkatNya dalam hidup kita lewat puji-pujian yang indah. Allah kita adalah Allah yang luar biasa dan sangat mengasihi kita. Dia layak untuk itu! "Ya Tuhan dan Allah kami, Engkau layak menerima puji-pujian dan hormat dan kuasa; sebab Engkau telah menciptakan segala sesuatu; dan oleh karena kehendak-Mu semuanya itu ada dan diciptakan" (Wahyu 4:11). Mendengar burung-burung yang bernyanyi riang di pagi hari, mari kita pun melakukan hal yang sama. Beri persembahkan pujian-pujian yang terbaik lewat nyanyian yang penuh sukacita. Teruslah bernyanyi dan muliakan Tuhan lewat itu.
Let's sing for joy at the work of His hands
Sumber : http://renungan-harian-online.blogspot.com


Hari
ini saya ingin melanjutkan apa yang kita baca kemarin mengenai reaksi
awal Natanael dalam perjumpaan pertamanya dengan Yesus. Reaksi skeptis
spontan ketika mendengar tentang seseorang yang datang dari Nazareth,
sebuah kota yang menurut Natanael "tidak ada baiknya" timbul sebelum ia
mengenal Kristus lebih jauh. Baru saja Filipus mengatakan bahwa Sosok
yang dinubuatkan banyak nabi sudah ia temukan (Yohanes 1:45), Natanael
yang belum pernah bertemu apalagi mengenal Yesus sebelumnya langsung
menunjukkan sikap ketidakpercayaannya. "Kata Natanael kepadanya: "Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?"
(ay 46). Hal ini masih terjadi hingga hari ini. Sikap Natanael ini
sesungguhnya masih banyak terdapat hari ini. Ada banyak pandangan miring
tentang Yesus yang juga menunjukkan ketidakpercayaan. Tidak sedikit
yang mengejek, menghina bahkan menghujat Yesus. Berbagai ajang diskusi
seperti lewat forum-forum misalnya sudah melenceng jauh lebih dari
sekedar diskusi, tapi menjadi tempat menghujat dengan menggunakan
kata-kata yang jauh dari kesopanan. Yang saya sayangkan, ada banyak
sorang percaya yang malah ikut-ikutan berkata kasar bahkan tidak jarang
malah menjadi sumber awal penyulut pertengkaran. Perlukah anak-anak
Tuhan menanggapi dengan ikut bersitegang? Perlukah kita emosi dan
membalas dengan kembali mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas? Atau,
adakah gunanya kita membela Tuhan lewat sikap yang tidak mencerminkan
kesabaran dan kasih seperti itu? Apa yang menjadi lanjutan dari ayat
bacaan kemarin: "Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?"
ternyata singkat saja. Filipus tidak menggerutu atau menyerang, tapi ia
mengundang Natanael untuk menyaksikan secara langsung terlebih dahulu
sebelum terburu-buru menilai. Inilah jawaban Filipus pada Natanael: "Mari dan lihatlah! (Come and see!)"


Gesekan
bisa dan mungkin biasa terjadi dimanapun kita berada. Bertemu dengan
orang yang sama setiap harinya, bisa saja ada saat-saat dimana sesuatu
yang tidak disengaja baik perbuatan maupun perkataan dari rekan
menyinggung perasaan kita. Dari kita sendiri pun hal itu mungkin
terjadi. Bukan saja di kantor/tempat kerja, di tempat kita tengah
menimba ilmu, atau di lingkungan tetangga saja, tetapi dalam pelayanan
pun hal ini mungkin terjadi. Hamba-hamba Tuhan pun adalah manusia biasa
yang tidak luput dari kekhilafan. Gesekan jika tidak diselesaikan dengan
cepat bisa menimbulkan perselisihan atau sakit hati yang
berkepanjangan, dan kalau dibiarkan bisa membuat benih dendam mulai
tumbuh dalam hati. Ada seorang teman yang melayani sebagai anggota tim
musik berselisih dengan salah seorang rekannya yang lebih senior. Begitu
besar rasa tersinggungnya sehingga ia memutuskan untuk keluar dari
pelayanan, bahkan kemudian pindah Gereja. Lihatlah bahwa emosi duniawi
pun masih bisa terjadi dalam lingkungan pelayanan, dikalangan
hamba-hamba Tuhan sendiri. Ini adalah sesuatu yang sangat mungkin
terjadi, namanya juga sama-sama manusia yang punya banyak kekurangan.
Tapi bukan berarti hal itu boleh dianggap lumrah dan dibiarkan saja.
Seorang pelayan tentu seharusnya mematuhi tuannya, dan hal yang sama pun
seharusnya menjadi pertimbangan dari para pelayan Tuhan.
Tadi
pagi saya pergi ke kantor pos untuk mengetahui berapa ongkos pengiriman
cd dari tempat saya ke luar negeri sesuai dengan pesanan pelanggan yang
hendak membeli beberapa cd di toko saya. Menambahkan 1 cd saja harganya
ternyata bisa melompat jauh, meski berat 1 cd tergolong ringan. Semakin
banyak cd yang ditambahkan ke timbangan, maka semakin mahal pula ongkos
kirimnya. Ketika sedang menimbang, saya pun berpikir. Seandainya
masalah dalam hidup kita ini bisa ditimbang beratnya, maka berapa gram
atau bahkan kilogram berat masalah yang masing-masing kita sedang hadapi
saat ini? Ada orang yang berpikir bahwa dengan lari dari masalah, atau
menyembunyikannya, itu bisa memperingan beratnya. Tapi seperti cd yang
diletakkan satu persatu di atas timbangan, biar bagaimana anda
menyembunyikannya, beratnya tentu akan bertambah. Lari dari masalah
cenderung dilakukan banyak orang. Mereka mengira bahwa itu bisa menjadi
solusi cepat dan mudah, akan tetapi sebenarnya itu hanyalah akan
menambah beratnya dan akan menjadi semakin "mahal" untuk diselesaikan.
Ada
banyak restoran saat ini mengijinkan konsumennya untuk merangkai
pesanan mereka sesuai dengan keinginan. Jika dahulu semua tergantung
pada menu yang tertulis, saat ini semakin banyak yang memberikan
kebebasan bagi konsumen dalam meracik pesanannya seperti yang mereka
mau. Penyedia pizza misalnya, banyak diantara mereka yang membebaskan
konsumen dalam memilih apa saja yang mereka inginkan untuk dibubuhi di
atas pizza. Atau yoghurt yang juga memperbolehkan kita dalam memilih
topping. Create your own food, create your own taste, or even create your own flavor.
Ini merupakan sebuah strategi jitu untuk menjaring konsumen, karena
mereka bias memperoleh sesuatu yang tepat sesuai dengan selera. Itu
mungkin baik untuk bisnis, tapi sadarkah kita bahwa terkadang kita pun
melakukan hal yang sama dalam memandang Tuhan? Jangan-jangan kelak akan
ada istilah create your own God. Apa yang saya maksudkan adalah
kecenderungan manusia untuk menempatkan Tuhan tidak pada posisi
sesungguhnya melainkan hanya disesuaikan dengan apa yang menjadi selera
atau keinginan mereka, atau membentuk image Tuhan seenaknya yang disesuaikan dengan kepentingan pribadi menurut pendapat sendiri.
Saya
termasuk pengajar yang suka ngobrol dengan siswa-siswi saya. Biasanya
itu saya lakukan sebelum atau sesudah jam belajar selesai. Seringkali
karenanya saya pulang lebih lama dari jadwal sebenarnya. Mengapa saya
senang melakukan hal itu? Karena saya suka bertukar pikiran, juga saya
ingin mendengar apa saja keluhan atau kesulitan anak-anak didik saya.
Kerap saya menjumpai bahwa kendala bukanlah dari kemampuan mereka baik
dalam menerima pelajaran maupun mengerjakan, tetapi faktor-faktor
eksternal lah yang sering menjadi penghambat. Seni berbicara itu penting
dalam mengajar, tetapi seni mendengar pun tidaklah boleh diabaikan atau
dikesampingkan. Masing-masing orang pasti berbeda masalahnya, dan saya
harus meluangkan waktu mendengar mereka satu persatu jika saya mau
melihat mereka memperoleh hasil yang terbaik. Saya membebaskan mereka
bercerita atau bertanya tentang apapun diluar pelajaran, dan berusaha
memberi masukan, setidaknya saya melatih diri menjadi seorang pendengar
yang baik. Lalu sesampainya di rumah, saya pun harus menyediakan waktu
untuk mendengar istri saya. Bagi saya itu adalah hal yang sangat penting
atau bahkan boleh dikatakan sebuah keharusan. Saya tidak akan bisa
menjadi suami/kepala rumah tangga yang baik jika saya tidak menyempatkan
diri untuk mendengar istri saya. Mungkin ada masalah, mungkin bertanya
ini itu, atau mungkin cuma menyempatkan diri ngobrol santai walaupun
sebentar. Hubungan akan sulit terjalin apabila hanya berjalan satu arah
saja. Karena itulah, apakah saya sedang lelah, kondisi tidak fit atau
sedang santai, saya akan selalu berusaha meluangkan waktu untuk
mendengarkannya.
Seorang
teman saya pernah bercerita bahwa sahabatnya kecewa ketika memeriksakan
istrinya yang hamil dan mengetahui bahwa anak yang dikandung ternyata
berjenis kelamin wanita. Menurutnya anak perempuan itu tidak berharga.
"Tidak bisa membawa nama keturunan dan lebih repot mengurusnya.."
demikian katanya seperti yang dikutip teman saya itu. Dalam adat
istiadat di beberapa suku bangsa mungkin memang seperti itu, demikian
pula dalam beberapa kepercayaan. Status wanita seringkali dianggap lebih
rendah dari pria. Hak-hak mereka terbatas, mereka berada dibawah
kontrol suami sepenuhnya dan tidak lebih dari dayang-dayang atau bahkan
robot yang bisa dikendalikan seenak hati. Ada seorang teman lainnya yang
bercerita bahwa ia merasa bosan dengan kehidupannya setelah menikah.
"Saya dilarang keluar sendiri, keluar bersama teman-teman bahkan sesama
wanita sekalipun. Saya harus selalu di rumah, tidak boleh memakai
internet, dan kalau mau keluar harus selalu bersamanya. Kalau tahu
seperti ini, saya tidak mau menikah." katanya dengan sedih. Ia termasuk
orang yang langsung menikah tanpa pernah saling mengenal satu sama lain
sebelumnya, seperti yang dipercaya oleh sebagian kelompok masyarakat.
Ketika saya bertanya mengapa ia setuju untuk menikah, ia pun menjawab,
"karena saya wanita dan saya tidak punya hak untuk menolak.." Saya
tersentak dan berpikir, serendah itukah wanita di mata mereka? Bukankah
wanita pun diciptakan oleh Tuhan secara istimewa sama seperti pria? Jika
ya, tidakkah wanita pun punya hak-hak mereka sendiri setidaknya sebagai
sesama manusia? Dalam kekristenan, wanita bukanlah dipandang sebagai
"warga" atau "manusia" kelas dua yang posisinya rendah dan boleh
direndahkan. Saya sendiri tidak pernah melarang istri saya untuk pergi
bersama teman-teman atau keluarganya. Bagi saya, pernikahan bukanlah
sesuatu yang membuat saya punya hak mengurung istri saya dalam sangkar
dan menguasai mutlak hidupnya. Tidak, dan tidak akan pernah. Nyatanya
kehidupan pernikahan saya bisa tetap indah dan harmonis, atau bahkan
lebih baik dari hari ke hari. 
