Di dlm Firman-Nya ada kepastian. Roh Kudus akan memimpin kita berjln di atas ketidakpastian. Ia hanya butuh kita percaya & taat Kisah 10:19-20

Sabtu, 23 September 2017

KESEPAKATAN DALAM KELUARGA YANG SEPAKAT DALAM TUHAN

Ayat bacaan: Matius 19:5-6a

=======================
"Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu."

Suatu kali secara kebetulan saya berkenalan dengan seorang pengacara ketika sama-sama makan di sebuah tempat. Karena kami sama-sama lagi santai, kami pun ngobrol tentang banyak hal. Ia bercerita bahwa ada begitu banyak kasus perceraian saat ini, dimana kebanyakan diantaranya penuh pertikaian besar terutama dari soal harta. "Pusing pak, kadang saya heran kalau saling bencinya sampai seperti itu, kok bisa ya dulu mereka menikah.. bahkan sampai punya anak." katanya sambil tertawa kecil. Saya pun jadi ikut bingung. Apa mereka ini dulu menikah dadakan tanpa masa penjajakan dan kenalan? Atau karena dipaksa/terpaksa? Atau saking cueknya tidak pikir panjang atau anggap serius pernikahan?

Adakah pasangan Kristen diantaranya? Menurut bapak pengacara ini bukan cuma ada, tapi banyak. Padahal jelas Kekristenan tidak memperbolehkan cerai. Setiap pernikahan seharusnya sudah menempuh pendidikan pra-nikah dan kemudian saat disahkan, Tuhan sendiri yang menjadi saksi saat kita mengucapkan janji nikah. Itu jelas dikatakan dalam Maleakhi 2:14. Faktor yang terbanyak biasanya berikisar pada tidak ada kecocokan, tidak ada rasa lagi, kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan dan perilaku-perilaku buruk  dari salah satu atau keduanya. Bayangkan anak-anak kemudian jadi korban, kehilangan salah satu figur penting dalam pertumbuhan mereka.

Dari apa yang saya lihat, banyak pernikahan atau keluarga hancur berawal dari pemahaman atau penetapan tujuan yang salah saat hendak membentuk keluarga. Alasan supaya hepi, dapat jaminan masa depan (biasanya finansial), atau memandang pernikahan bak peternakan alias hanya cari keturunan. Mereka tidak menyadari bahwa pernikahan adalah sesuatu yang harus terus diusahakan, dikerjakan, dirawat seperti halnya bertani. Anda tidak bisa mengharapkan panen baik kalau tidak terlebih dahulu menanam bibit kualitas baik di tanah gembur, disiram, kalau perlu diberi pupuk, anti hama dan sebagainya. Anda tidak menanam, maka tidak ada yang tumbuh kecuali semak ilalang atau rumput liar. Ditanam tapi tidak rajin disiram, tanaman akan sulit tumbuh. Disiram tapi tidak dirawat baik, bisa terserang hama. Disiram anti hama, disiram air tapi tanahnya tidak gembur, bakal sulit mengharapkan hasil baik. Bagi petani, itu adalah kegiatan setiap hari yang harus mereka lakukan agar hasil taninya bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Nanti di lain waktu saya akan membahas lebih jauh mengenai kekeliruan banyak orang memandang pernikahan sebagai peternakan dan bukan pertanian. Tapi untuk kali ini saya ingin meneruskan apa yang sudah saya bagikan kemarin mengenai kesepakatan, kali ini fokus kepada pentingnya kesepakatan dalam keluarga yang sepakat dalam Tuhan.

Jatuh cinta, pacaran, nikah. Meski saling mencintai, seringkali kehidupan berumah tangga tidak serta merta berjalan mudah. Dua orang dengan dua latar belakang, dua sifat, dua tingkah laku, dua pola pemikiran dan sebagainya seringkali membuat adanya pertentangan dalam pengambilan keputusan. Semirip-miripnya sifat dari pasangan suami istri, tentu ada saja perbedaan di antara keduanya dan apabila ini tidak disikapi dengan baik, maka perselisihan atau pertengkaran pun bisa menjadi akibatnya. Ada pula yang tidak melawan tapi di dalam merasa tertekan. Sebaliknya ada yang memberontak sehingga pertengkaran besar pun terjadi meski mungkin sumber masalahnya kecil.

Lalu ada pasangan yang sebenarnya belum siap nikah, belum siap membentuk keluarga. Belum sempat membangun pondasi kuat antara suami istri, anak sudah hadir. Fokus kesibukan berpindah. Belum lagi kesibukan kerja atau kegiatan masing-masing yang membuat komunikasi dan kedekatan antar suami istri terus bertambah jarang. Kalau sudah begini, mau bagaimana bisa sepakat? Untuk sepakat dalam hal ringan saja sudah tidak lagi, apalagi dalam pengambilan keputusan-keputusan penting yang seharusnya melibatkan Tuhan, bersepakat untu sepakat dalam Tuhan.

Bersepakat dalam segala hal antara suami dan istri atau kalau perlu melibatkan anak dan anggota keluarga lainnya akan menghasilkan sebuah keluarga dengan ikatan kuat dan harmonis. Hari-hari ini tidak jarang kita melihat suami dan istri berjalan terpisah. Suami ke kiri, istri ke kanan. Istri yang tidak mendukung suami, tidak berada di sisi suaminya ketika sang suami sedang mendapat masalah. Atau sebaliknya suami yang tidak peduli kebutuhan istrinya, menganggap istrinya tidak tahu apa-apa, memutuskan segalanya sendiri. Kesibukan yang menyita waktu membuat mesbah keluarga berantakan dan terabaikan. Semua berjalan sendiri-sendiri, dan cepat atau lambat hal ini bisa membahayakan kelanggengan keharmonisan keluarga.

Padahal kesepakatan dalam keluarga itu sangat penting. Begitu pentingnya sehingga Yesus sendiri mengatakan "Jika dua orang dari padamu di dunia ini sepakat meminta apapun juga, permintaan mereka itu akan dikabulkan oleh Bapa-Ku yang di sorga. Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka." (Matius 18:19-20). Sebesar itu kuasa yang bisa ditimbulkan dari yang namanya kesepakatan. Dua atau tiga orang berkumpul, Yesus hadir, dan kesepakatan untuk meminta dalam nama Yesus akan membuat permintaan dikabulkan. Tidakkah kesepakatan itu penting jika demikian? Ini janji Tuhan. Alangkah sayangnya jika dalam sebuah rumah tangga tidak lagi ada kesepakatan, dan itu seringkali menjadi awal dari kehancuran.

Kesepakatan juga bisa diibaratkan sebagai sebuah teamwork atau kerjasama tim yang harmonis. Saling dukung, saling bantu, saling dukung. Dalam pengambilan keputusan yang penting, pasangan dilibatkan, sepakat berdoa bersama dan sepakat mengambil solusi. Suami memimpin istri dan anak-anak dalam menjaga covenant dengan Tuhan. Suami istri sama-sama memegang teguh janji nikahnya, sama-sama bertanggung jawab terhadap perkembangan moral dan spirit anak. Rajin membangun mesbah keluarga sebagai sendi yang akan memperkuat seisi keluarga dalam menghadapi beragam godaan, tipuan atau penyesatan-penyesatan yang ada di dunia. Keluarga sepakat dalam Tuhan, seirama dalam melangkah.

Mungkin perselisihan atau pertengkaran kecil bisa saja terjadi, tetapi seharusnya tidak akan membawa potensi kehancuran. Keluarga yang mendasarkan hidupnya kepada Tuhan akan kuat dan tahan goncangan. Keluarga seperti inilah yang akan bisa berdampak besar memberkati sesamanya dan bisa merasakan kehangatan penuh kasih, sukacita dan damai sejahtera di dalamnya.

Kerjasama yang baik dalam keluarga harus melibatkan Tuhan, dimana kita sekeluarga mengikuti apa yang menjadi rencana Tuhan dalam hidup kita. Roh-roh perpecahan akan terus berusaha memecah belah kita, namun sebuah kesepakatan dan kerja sama tim yang kuat dalam Tuhan akan membuat kita tidak gampang diporak-porandakan iblis. Ingatlah ada Yesus ditengah-tengah kita ketika kita bersepakat bersama-sama dalam keluarga. Bukankah hal ini sungguh indah?

Ikatan suami istri adalah ikatan kuat yang dimateraikan langsung oleh Tuhan sendiri. Yesus mengatakan "Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu." (Matius 19:5-6a). Ayat ini sudah tidak asing lagi, sudah sangat familiar bahkan, tetapi masih sedikit sekali orang yang menyadari betul hal tersebut dalam berkeluarga. Suami istri secara fisik memang terdiri atas dua tubuh, tapi ikatan pernikahan yang dimateraikan Tuhan secara langsung membuat mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Bukan hanya dalam satu dua hal, namun dalam segala hal, termasuk dalam memutuskan sesuatu dan bersepakat dalam mengambil keputusan.

Ketika anda ingin komitmen untuk membangun dan merawat kehidupan keluarga seperti sebuah pertanian, ingatlah untuk membangun gaya hidup sepakat di dalamnya. Seperti halnya bertani, hasilnya tidak langsung jadi melainkan butuh proses. Jalani prosesnya dengan benar, jangan langgar covenant dengan Tuhan, pegang teguh janji nikah, bersepakatlah dalam membangun mesbah keluarga, membangun keluarga yang takut akan Tuhan. Maka anda akan merasakan keindahan sebuah keluarga seperti apa yang diinginkan Tuhan untuk kita nikmati. Keluarga yang kuat bukan lemah, keluarga yang hangat bukan dingin, keluarga yang bahagia bukan menderita. Keluarga yang bisa merasakan 'heaven on earth', bukan 'hell break loose'. Anda ingin merasakannya? Mulailah dengan membenahi hubungan dalam keluarga yang didasarkan kesepakatan untuk hidup dalam kesepakatan dengan Tuhan.

Kesepakatan antar anggota keluarga dengan melibatkan Tuhan adalah jalan yang terbaik.



Sumber : http://www.renunganharianonline.com

Jumat, 03 Februari 2017

With God Throughout the Year

Ayat bacaan: Ulangan 11:12

==================
"suatu negeri yang dipelihara oleh TUHAN, Allahmu: mata TUHAN, Allahmu, tetap mengawasinya dari awal sampai akhir tahun."


Tahun demi tahun yang kita jalani tidaklah mudah. Sudah ada begitu banyak perbaikan di berbagai sektor, tapi nampaknya semua itu belum cukup untuk membuat kita bisa hidup makmur dan damai. Harga bahan pokok masih menjadi pekerjaan rumah, kerukunan antar umat beragama masih ternodai oleh paham-paham ekstrimis. Kesenjangan, ketidakadilan, kesulitan ekonomi, keamanan, itu masih memerlukan perbaikan. Bukan hanya tugas pemerintah tentu, melainkan menjadi tugas kita bersama.

Hari ini kita mulai memasuki lembaran tahun yang baru. Semoga teman-teman masih tetap sama seperti saya, terus menjalani dengan optimis dan penuh pengharapan. Sebagian dari kita mungkin menganggap tahun 2016 sebagai tahun yang sulit. Tapi satu hal, jika kita sudah melewati tahun kemarin dan sekarang siap untuk menjalani tahun yang baru, kalau bangsa ini masih bisa berdiri menyongsong 2017, itu jelas karena Tuhan. Artinya, kita masih punya kesempatan dan tidak seharusnya kehilangan pengharapan.

Sabtu, 14 Januari 2017

PERASAAN TIDAK DIMENGERTI

Ayat bacaan: Mazmur 139:1-3
=======================

"TUHAN, Engkau menyelidiki dan mengenal aku; Engkau mengetahui, kalau aku duduk atau berdiri, Engkau mengerti pikiranku dari jauh. Engkau memeriksa aku, kalau aku berjalan dan berbaring, segala jalanku Kaumaklumi."

Saya termasuk beruntung karena punya kedua orang tua yang mengerti anaknya. Kedekatan saya dengan keduanya dan kemudahan saya berkomunikasi membuat saya relatif tidak punya masalah dengan masalah dimengerti. Belakangan setelah dewasa saya baru sadar kalau ternyata ada banyak orang yang tumbuh dewasa membawa masalah tentang hal ini. Semasa kecil orang tua terlalu sibuk, mereka hanya menginginkan anak mereka untuk mengikuti perintah mereka secara sepihak tanpa mau melihat apa yang menjadi masalah dalam diri anak-anaknya. Bisa makan, bisa sekolah, punya kamar tidur atau minimal tempat tidur, punya uang jajan, sudah kan? Jangan macem-macem lagi, pakai minta dimengerti segala. Itu pikir orang tua yang mengira bahwa gelontoran uang dan penyediaan kewajiban dasar untuk anak sudah lebih dari cukup untuk memenuhi peran sebagai orang tua. Suami terlalu sibuk kerja sehingga tidak lagi punya cukup waktu untuk mendengarkan istrinya. Istri terlalu sibuk dengan gadget sehingga tidak lagi mempedulikan kebutuhan-kebutuhan suami yang sudah lelah seharian mengais rejeki di luar rumah. Teman-teman ada disaat suka, tapi disaat duka hilang entah kemana. Mereka datang pada kita kalau butuh apa-apa, tapi begitu kita yang butuh, seribu satu alasan muncul. Kita bermaksud baik, tapi disalah-artikan terus. Alih-alih mau mendengar dahulu dan mencoba mengerti, belum apa-apa sudah langsung menyalahkan. Sudah mati-matian berusaha menerangkan duduk permasalahan, tetapi disepelekan. Pernahkah anda merasakan seperti itu, bahwa sepertinya tidak ada satupun orang yang (mau) mengerti?  Tidak ada yang peduli? Nobody understands. Nobody wants to understand. Nobody cares. 


Rabu, 09 Maret 2016

ANTARA PERCAYA ATAU TIDAK

Ayat bacaan: Markus 9:24
=====================
"Segera ayah anak itu berteriak: "Aku percaya. Tolonglah aku yang tidak percaya ini!"
 
Antara percaya atau tidak itu tipis sekali bedanya. Kita bisa percaya sekarang tapi sedetik kemudian menjadi ragu atau mendadak tidak lagi percaya. Kalau terhadap sesuatu yang nyata saja kita begitu, apalagi terhadap sesuatu yang tidak kelihatan. Iman, itu diperlukan karena Ibrani 11:1 mengatakan bahwa iman merupakan dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari sesuatu yang tidak kita lihat. Mengaku beriman belum tentu benar beriman, karena itu akan terlihat dari bagaimana reaksi kita ketika menghadapi persoalan. Ada yang imannya naik turun, dan yang seperti ini biasanya terombang-ambing antara percaya dan tidak. Begitu mudah mereka kehilangan kepercayaannya terhadap Tuhan, sedikit goyang dan iman pun nge-drop seketika. Doa biasanya menjadi sarana meminta pertolongan kepada Tuhan, tapi sayangnya saat terhimpit berat beban masalah, doa-doa kita pun tidak kita panjatkan dalam rasa percaya yang cukup. Antara percaya dan ragu, terombang ambing bagaikan berdiri di atas seutas tali tipis, antara putus asa dan harapan.

Ada sebuah kisah menarik akan hal ini yang ingin saya bagikan hari ini. Alkisah ada seorang ayah membawa anaknya yang kerasukan roh jahat ke hadapan Yesus. (Markus 9:14-29). Si ayah panik bukan kepalang, karena bukan saja roh itu membisukan anaknya sejak kecil, tapi juga menyerang anaknya dengan cukup parah seperti apa yang kita lihat di film-film horror. Seperti ini parahnya: "Dan setiap kali roh itu menyerang dia, roh itu membantingkannya ke tanah; lalu mulutnya berbusa, giginya bekertakan dan tubuhnya menjadi kejang." (Markus 9:18). Tidak satupun murid Yesus yang sanggup berbuat sesuatu. Si ayah pun berkata: "Dan seringkali roh itu menyeretnya ke dalam api ataupun ke dalam air untuk membinasakannya. Sebab itu jika Engkau dapat berbuat sesuatu, tolonglah kami dan kasihanilah kami." (ay 22).

Sabtu, 12 Desember 2015

THE SPIRIT OF CHRISTMAS

Ayat bacaan: Filipi 2:5
=================
"Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus"

Tidak terasa kita sudah melewati minggu pertama di bulan Desember. Itu artinya hari Natal sudah semakin dekat. Ini adalah bulan yang paling ditunggu-tunggu oleh hampir semua orang percaya. Sebentar lagi akan ada libur, mungkin beberapa pesta antar teman, keluarga atau lingkup kerja, yang mungkin disertai tukar menukar kado dan berbagai kegiatan-kegiatan yang menggembirakan lainnya. Saya punya kebiasaan mulai mengganti playlist dengan mayoritas lagu Natal sejak awal Desember karena ingin merasakan semangat Natal sejak jauh hari. Disamping itu saya pun mulai mengeluarkan pohon terang, memastikan lampu-lampunya masih berfungsi dan melihat-lihat kalau ada dekorasi baru yang menarik di pusat-pusat perbelanjaan, yang biasanya juga sudah mulai berbenah dengan dekornya masing-masing.

Semua itu tentu tidak salah. Dan memang, kelahiran Yesus turun ke dunia sudah sepantasnya kita sikapi dengan sukacita. KedatanganNya ke dunia ini membawa misi penting untuk menebus kita semua, sebagai bukti nyata betapa Tuhan mengasihi manusia dan tidak ingin satupun dari kita untuk binasa. Dengan begitu indahnya Alkitab menuliskan firman Tuhan ini: "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal." (Yohanes 3:16). Oleh karenanya sukacita hadir di dalam diri kita, dan sebagai manusia tentu kita pun ingin merayakannya melalui berbagai kegiatan yang diisi dengan kegembiraan. Tapi jangan lupa bahwa semangat Natal seharusnya jauh lebih daripada itu. Apakah semangat Natal hanyalah berbicara atau berkaitan dengan pesta, tukar menukar kado, mendengar dan menyanyikan lagu-lagu Natal? Jika itu yang masih menjadi bentuk perayaan atau wujud sukacita kita akan Natal, maka itu tandanya kita belumlah sepenuhnya mengerti apa yang seharusnya menjadi semangat Natal yang sesungguhnya.

Jumat, 04 Desember 2015

IDENTITAS MURID KRISTUS

Ayat bacaan: Yohanes 13:35
=======================
"Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi."

Hampir setiap orang punya idolanya masing-masing. Dan biasanya, kita bisa mengetahui idola seseorang dari penampilan mereka. Misalnya dari cara berpakaian, model rambut, aksesoris sampai gaya hingga gerak. Dalam hal keimanan pun sama. Berbagai aksesoris, cara berpakaian, atribut dan lain-lain bisa membuat kita tahu kemana iman seseorang berlabuh. Tidak dilarang dan tidak salah, tetapi ada banyak orang percaya yang keliru mengartikan penanda identitasnya. Mereka mengira bahwa iman kekristenan mereka akan ter-claim dengan penggunaan atribut-atribut yang mengacu kesana. Misalnya baju kaos dengan tema Kristen, kalung salib dan sebagainya. Itu penanda bahwa mereka adalah pengikut atau murid Yesus. Sekali lagi, memakai kalung atau kaos bertema religius tidak salah. Tetapi ada hal yang jauh lebih penting yang sebenarnya bisa menunjukkan apakah kita memang murid Kristus atau tidak. Itu disebutkan di dalam Alkitab, dan itu bukan melalui pakaian, fashion dan aksesoris. What's the thing that can actually describe us as His disciple? 

Menjelang penyalibanNya, Yesus menunjukkan identitas kita yang seharusnya lewat sebuah perintah baru yang Dia berikan. Jika selama ini yang kita tahu hukum kedua yang paling utama adalah "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini" (Markus 12:31), maka kali ini ada level baru mengenai mengasihi sesama manusia. "Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi." (Yohanes 13:34). Ini sebuah level yang lebih tinggi dari perintah mengasihi sesama. Bukan saja harus mengasihi sesama kita seperti diri kita sendiri, tapi kita harus pula mengasihi sesama seperti halnya Yesus telah mengasihi kita. Dan kita tentu tahu bagaimana besarnya kasih Kristus kepada kita. Lewat pengorbananNya kita yang sebenarnya tidak layak ini diberi sebuah kepastian untuk beroleh keselamatan yang kekal. Bentuk kasih Yesus terhadap kita manusia bukan hanya bentuk kasih lewat ucapan atau sekedar memperhatikan atau menolong, tetapi disertai pula dengan kerelaan untuk berkorban nyawa.

Selasa, 01 Desember 2015

UJIAN

Ayat bacaan: Amsal 24:10
====================
"Jika engkau tawar hati pada masa kesesakan, kecillah kekuatanmu."

Apa yang harus anda lakukan jika ingin naik kelas? Dalam setiap jenjang pendidikan, orang hanya bisa naik kelas apabila sudah melewati ujian. Belajar, lalu ujian. Yang lulus naik kelas, yang tidak lulus apa boleh buat, mengulang kembali. Semakin tinggi jenjangnya, semakin sulit pula ujiannya. Ujian di SD akan berbeda dengan SMP, dan meningkat di SMA. Pada masa perkuliahan anda harus melewati setiap mata kuliah yang tetap melalui ujian, dan untuk meraih gelar sarjana anda harus mempertahankan skripsi anda di depan dosen penguji. S2, S3, Profesor, ujiannya akan jauh lebih berat lagi. Selama kita masih hidup, kita harus terus belajar. Belajar untuk memperoleh ilmu pengetahuan, juga belajar mengenai kehidupan. Kita tidak bisa berharap naik kelas tanpa melalui ujian. Dengan kata lain, ujian adalah sarana untuk naik ke tingkatan lebih tinggi. Meski dalam menghadapi ujian kita harus belajar keras dan seringkali ujian itu tidak enak, tapi kita akan bergembira apabila mampu melewatinya dan kemudian menapak lebih tinggi, selangkah demi selangkah.

Bagaimana dengan proses keimanan kita? Sama, kita juga harus naik kelas. Semakin dewasa, semakin bijaksana, semakin dekat dengan Tuhan, semakin mengerti dan melakukan FirmanNya. Seperti proses pendidikan, untuk bisa naik kelas dalam hal iman pun akan ada ujian-ujian yang harus kita lewati agar bisa naik kelas. Selalu memusingkan dan cukup menyita pikiran jika menghadapi ujian, tetapi ujian tetap diperlukan karena itu bisa membawa kita untuk naik.




« »
« »
« »
Get this widget