Di dlm Firman-Nya ada kepastian. Roh Kudus akan memimpin kita berjln di atas ketidakpastian. Ia hanya butuh kita percaya & taat Kisah 10:19-20

Rabu, 09 Oktober 2013

SEKALI BERARTI SESUDAH ITU MATI

Ayat bacaan: 2 Tawarikh 9:31
=====================
"Kemudian Salomo mendapat perhentian bersama-sama dengan nenek moyangnya, dan ia dikuburkan di kota Daud, ayahnya. Maka Rehabeam, anaknya, menjadi raja menggantikan dia."

Masih ingatkah anda dengan Chairil Anwar? Ia adalah penyair legendaris yang dikenal sebagai salah seorang pelopor Angkatan 45. Karya-karya puisinya terangkum dalam 3 buku. Diantara sekitar 96 karya, puisi karangannya yang paling terkenal berjudul "Aku" dan "Kerawang Bekasi". Masa hidup Chairil Anwar terbilang singkat, yaitu hanya mencapai 27 tahun saja, tetapi ia masih sempat memperkaya khasanah karya tulis dan puisi di Indonesia lewat bakatnya.

Disamping kepintarannya dalam merangkai kata dan tulisan-tulisannya yang kritis, adalah menarik jika melihat ada banyak karya tulisnya yang bericara tentang kematian. Salah satunya dalam "Aku", ia menulis "Sekali berarti, sesudah itu mati." Itu tentu berasal dari perenungannya yang sampai kepada titik bahwa hidup itu sesungguhnya singkat. Alangkah sia-sianya apabila di masa hidup yang singkat tidak diisi dengan hal-hal yang berguna, yang tentunya sesuai dengan rencana Tuhan.

Ayat bacaan hari ini menuliskan akhir dari kehidupan orang paling kaya dan paling berhikmat yang pernah ada di kolong langit. Kita tentu tahu bagaimana kekayaan Salomo dan betapa luasnya pengetahuannya akan hikmat. Tapi ketika waktunya tiba, bahkan Salomo sekalipun tidak mampu mencegah atau memperpanjang akhir perjalanan hidupnya. "Kemudian Salomo mendapat perhentian bersama-sama dengan nenek moyangnya, dan ia dikuburkan di kota Daud, ayahnya. Maka Rehabeam, anaknya, menjadi raja menggantikan dia." (2 Tawarikh 9:31). Satu hal yang juga menarik, perikop mengenai mangkatnya Salomo ini ditulis persis setelah perikop sebelumnya yang memaparkan masa-masa kejayaannya lengkap dengan kekayaannya. Mari kita lihat sejenak sedikit saja dari pemaparan itu. "Adapun berat emas, yang dibawa kepada Salomo dalam satu tahun ialah seberat enam ratus enam puluh enam talenta." (ay 14). Enam ratus enam puluh talenta itu berapa? Itu setara dengan 23.000 kg emas, dan itu cuma per tahun. Berapa harga 1 kg emas hari ini? Dan berapa nilainya jika dikalikan 23.000? Itupun belum termasuk yang dibawa oleh para saudagar, pedagang serta raja-raja Arab dan bupati-bupati di negeri itu. Ayat-ayat seterusnya adalah merinci lebih jauh lagi tentang kekayaan Salomo.

Lihatlah betapa berlimpahnya Salomo. Tapi perikop selanjutnya ternyata berisi keterangan sederhana bahwa Salomo kemudian meninggal dan dikuburkan di kota Daud, ayahnya. Saya sangat tertarik dengan urutan kedua perikop ini, karena saya merasa seolah penulis 2 Tawarikh ingin menyatakan bahwa betapapun hebatnya seorang manusia, ia tetaplah sosok yang fana. Sehebat dan seluar biasa apapun manusia, pada satu saat semua itu akan ditinggalkan, dan apa yang tinggal hanyalah kenangan, apakah itu baik atau buruk, apakah ada hal-hal bermanfaat yang masih bisa diwariskan kepada generasi selanjutnya atau tidak ada satupun, habis lenyap seiring kematian.

 Life is really short. Kata Musa, "Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap." (Mazmur 90:10). Singkat atau tidaknya tujuh puluh tahun memang relatif. Tapi jelas itu sangat singkat dibanding fase selanjutnya yang  kekal yang menanti kedatangan kita. Apapun itu, apakah kehidupan kekal penuh sukacita tanpa ratap tangis dan kesulitan atau kematian kekal yang penuh siksaan mengerikan sangat tergantung dari bagaimana cara kita menyikapi fase saat ini. Karena itu saya merasa alangkah naifnya jika kita malah sibuk menumpuk harta dengan segala cara bahkan kalau perlu dengan cara-cara curang yang keji dan mengorbankan orang lain. Betapa bodohnya jika kita gila jabatan dan siap menghalalkan segala cara demi itu. Mau punya jabatan setinggi langit, mau punya kekayaan melimpah bagai air bah, semua itu adalah fana. Pada suatu hari semua akan berakhir, dan tidak ada yang bisa kita lakukan dengan itu. Tidak peduli sebanyak apapun kita berhasil memperolehnya, jika hanya ditumpuk, semua tidak akan ada gunanya.

Lantas bagaimana agar apa yang kita miliki bisa berguna bagi fase berikutnya? Tuhan Yesus sudah memberitahukan caranya. "Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya." (Matius 6:19-20). Seberapa jauh kita menyadari pentingnya hal ini? Apakah kita saat ini masih termasuk orang yang menilai segala sesuatu hanya dari sisi uang atau harta saja, mengira bahwa menumpuk harta kekayaan itu bisa menjamin segala kenyamanan dan kebahagiaan hidup? Apakah berkat yang diperoleh dari Tuhan itu hanya untuk kepentingan sendiri dan tidak perlu dipergunakan untuk memberkati orang lain? Apakah hati kita rindu untuk bisa menjadi saluran berkat atau kita terus menumpuk dan terus merasa kurang? Tuhan Yesus berkata: "Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada." (ay 21). Apabila dalam dunia kita mengumpulkan harta dengan menimbun, untuk Kerajaan Surga mengumpulkan harta justru sebaliknya, yaitu dengan memberi. Itulah sebabnya sebelum berpisah dengan para penatua Efesus, Paulus memberi pesan yang sangat penting: "Dalam segala sesuatu telah kuberikan contoh kepada kamu, bahwa dengan bekerja demikian kita harus membantu orang-orang yang lemah dan harus mengingat perkataan Tuhan Yesus, sebab Ia sendiri telah mengatakan: Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima." (Kisah Para Rasul 20:35). Jika demikian, kita bisa menanyakan diri kita sendiri,  ke arah mana hati kita hari ini menuju?

Memikirkan apa yang bisa diperbuat saat fase hidup di dunia ini sangatlah penting. Musa pun tahu itu, karenanya ia berdoa: "Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana." (Mazmur 90:12). Kita harus bisa menghitung hari dengan bijaksana karena waktu untuk melakukan itu sesungguhnya singkat. Maka jangan pernah biarkan waktu terbuang sia-sia. Selanjutnya, janganlah tergoda untuk mabuk terhadap harta, jabatan atau hal-hal lain yang sering dipercaya dunia dapat mendatangkan kebahagiaan bagi semua orang. Apalagi jika untuk memperoleh itu semua kita lalu tega untuk melakukan cara-cara keji/jahat yang merugikan banyak orang. Tidak satupun dari itu yang abadi. Sehebat-hebatnya kita di dunia, cepat atau lambat kita akan meninggalkan itu semua. Apa yang penting untuk kita ingat adalah mengisi setiap detik kehidupan kita dengan hal-hal yang bermanfaat untuk masa depan kita kelak di fase kekekalan, berbuat sebaik-baiknya seperti untuk Tuhan, memuliakanNya lewat memberkati banyak orang lain lewat karya-karya kita, dan tidak menyia-nyiakan atu membuang-buang waktu untuk itu. Ketika Tuhan memberkati kita dengan kekayaan, pergunakanlah sebagian dari itu untuk membantu sesama, ketika kita diberikan berkat atas jabatan, muliakanlah Tuhan dengan itu dengan hikmat dan kebijaksanaan yang mencerminkan kita sebagai murid Kristus sejati.

Hidup ini singkat, isilah dengan sesuatu yang bermanfaat dan memberkati orang lain




Sumber : http://renungan-harian-online.blogspot.com




« »
« »
« »
Get this widget