Di dlm Firman-Nya ada kepastian. Roh Kudus akan memimpin kita berjln di atas ketidakpastian. Ia hanya butuh kita percaya & taat Kisah 10:19-20

Selasa, 08 Mei 2012

ADIL VERSI KITA, ADIL VERSI ALLAH


 “Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati?” (Matius 25 : 15)

Kata – kata Tuhan Yesus itu adalah bagian dari perumpamaan tentang orang – orang upahan di kebun anggur (Matius 20 : 1-6). Di situ Dia bercerita tentang buruh – buruh harian yang disewa guna bekerja di kebun anggur.
Yang tidak lazim adalah ketika pembayaran upah tiba. Setiap pekerja meski punya jam kerja berbeda, tapi ternyata memperoleh upah yang sama. Padahal ada yang bekerja sejak pagi hari, ada yang bekerja cuma satu jam.
Ini tentu saja menuai protes. Siapa memprotes paling keras? Tentu mereka yang telah bekerja paling lama. Yang merasa telah menguras tenaga lebih banyak. Mereka merasa diperlakukan secara tidak adil.
Bagaimana reaksi kita? Dipihak mana kita berdiri? Di pihak si pemrotes? Atau di pihak si pemilik kebun anggur?

Saya tidak heran kalau banyak dari antara kita mendasarkan diri pada “prinsip keadilan” dan “prinsip kepantasan”, berdiri di kubu si pemrotes. Buruh – buruh itu layak menerima perlakuan yang “lebih adil” bukan?
Naluri saya pun begitu. Sebab memang itulah “keadilan” menurut ukuran manusia. Yang membayar lebih mahal, berhak memperoleh yang lebih baik. Yang memeras tenaga lebih banyak, berhak memperoleh imbalan yang lebih besar. Yang memiliki ijazah lebih tinggi, berhak memperoleh gaji lebih tinggi.
Tidak perlu ada perdebatan. Ini adalah formula keadilan yang paling umum, paling universal, paling baku, paling klasik. Bahkan telah disepakati sejak ribuan tahun sebelum Kristus. “Adil” artinya “setiap orang memperoleh haknya masing – masing”.
Lalu mengapa Tuhan Yesus sepertinya berdiri di pihak si pemilik kebun anggur? Apakah definisi “keadilan” versi manusia itu tidak alkitabiah, tidak teologis, dan karena itu tidak “kristiani”? Tidak. Pemahaman keadilan ada dasarnya dalam Alkitab.
Alkitab jelas mengatakan bahwa Tuhan sangat memperhatikan kualitas kerja dan kinerja manusia. “Aku tahu segala pekerjaanmu”, begitu Dia berkata (Wahyu 2:2). Tuhan juga membenci kaum pemalas. “Orang yang bermalas – malas dalam pekerjaannya sudah menjadi saudara bagi perusak” (Amsal 18 : 9). Lalu, “Jika seorang tidak mau bekerja janganlah ia makan” (1 Tesalonika 3 : 10).
Tuhan sangat menghargai prestasi kerja manusia. Yang rajin dan yang malas, yang berprestasi dan yang tidak berprestasi, ya beda. Salah besar kalau kita menganggap bahwa bagi Tuhan “melakukan sesuatu” dan “tidak melakukan sesuatu” nilainya sama saja. Tidak begitu!
Kalau begitu, bagaimana kita harus memahami perumpamaan itu? Apa sebetulnya inti permasalahannya?
Perhatikanlah kalimat akhir dari pembelaan si pemilik kebun anggur terhadap para pemrotesnya. “Atau iri hatikah engkau karena aku murah hati? (ayat 15). Disitulah letak pangkal masalahnya ; IRI HATI.
Sama seperti yang terdapat dalam perumpamaan “Anak yang Hilang”. Si anak sulung juga iri hati. Ia merasa diperlakukan tidak adil. Ia memprotes keras kemurahan hati sang ayah terhadap adiknya (Lukas 15:29,30).
Sumber iri hati tidak lain adalah perasaan “berhak” yang salah kaprah. Para pekerja kebun anggur itu protes karena merasa berhak memperoleh upah lebih banyak. Si sulung protes, karena merasa berhak disambut lebih meriah. Yang satu merasa telah bekerja lebih keras. Yang lain merasa telah berkelakuan lebih baik.
Tuhan Yesus menjungkirbalikan perasaan “berhak” mereka. Mereka menyangka dirinya “berhak”, padahal tidak. Mereka tidak tahu apa yang mereka katakan. Sebab kalau kita berbicara tentang “hak”, maka satu – satunya “hak” yang dimiliki oleh manusia hanya satu. “Hak” untuk dibinasakan!
Oleh karena itu, andaikata Tuhan benar – benar menerapkan “keadilan” seperti yang kerap dituntutkan orang, alangkah mengerikan. Sebab yang akan terjadi adalah, “keadilan” Allah akan membawa semua orang dibakar hangus dalam api abadi. Gandum akan ikut tercabut bersama ilalang.
Syukurlah Tuhan tidak cuma “adil”, Dia juga murah hati”. Semata – mata karena kemurahan hatiNyalah, pintu keselamatan dibukakan. Atau, bila kembali ke perumpamaan tadi, syukurlah si pemilik kebun anggur itu bermurah hati mempekerjakan mereka. Kalau tidak? Apa jadinya?!. Karena itu sungguh letak pertanyaan ia : “Pantaskah kamu merasa iri karena Aku bermurah hati?”
Jadi ada perbedaan yang hakiki antara “keadilan” vesi Allah dan “keadilan” vesi manusia. “Keadilan versi manusia berdasarkan pada hak. “Adil” berarti kita memperoleh hak kita. Hak masing – masing ditentukan oleh jasa, prestasi dan karya masing – masing. Lalu bagaimana kalau orang sudah renta dan tak mampu lagi menghasilkan apa – apa? Bagaimana dengan orang cacat fisik ataupun jiwa sehingga tak mungkin lagi bekerja? Ya, hilanglah “hak” mereka sebagai “manusia”.
“Keadilan” versi Allah berbeda. Dasarnya bukan pada “hak” tetapi “kemurahan hati”. Sikap dasarnya bukan menuntut, melainkan member. Karena itu bukan masing – masing menerima berdasarkan jasa dan prestasinya, tetapi masing – masing menerima berdasarkan kebutuhannya.
Dari perspektif ini kita dapat mengerti, mengapa yang bekerja satu jam memperoleh sama dengan yang bekerja sembilan jam. Mereka masing – masing menerima satu dinar. Itu adalah biaya kebutuhan hidup pokok orang satu hari. Artinya dalam hal menyangkut kebutuhan dasar untuk hidup layak sebagai manusia, semua orang berhak mendaptkan “satu dinar”.
Jadi, misalnya Anda membayar untuk kelas VIP di rumah sakit. Tentu saja Anda berhak memperoleh kamar yang lebih nyaman dibandingkan mereka yang membayar untuk kelas tiga. Ini adil. Tapi dalam hal pelayanan kesehatan, semua orang berhak untuk mendapatkan “satu dinar”. Tak peduli apakah Anda orang kaya yang bisa memborong seluruh lantai rumah sakit, atau Anda cuma pasien “kelas tiga”.

Sumber : Warta Jemaat GBI Demak  




« »
« »
« »
Get this widget