“Tidakkah aku
bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? Atau iri hatikah engkau,
karena aku murah hati?” (Matius 25 : 15)
Kata – kata Tuhan Yesus itu adalah bagian dari
perumpamaan tentang orang – orang upahan di kebun anggur (Matius 20 : 1-6). Di
situ Dia bercerita tentang buruh – buruh harian yang disewa guna bekerja di
kebun anggur.
Yang tidak lazim adalah ketika pembayaran upah
tiba. Setiap pekerja meski punya jam kerja berbeda, tapi ternyata memperoleh upah
yang sama. Padahal ada yang bekerja sejak pagi hari, ada yang bekerja cuma satu
jam.
Ini tentu saja menuai protes. Siapa memprotes
paling keras? Tentu mereka yang telah bekerja paling lama. Yang merasa telah
menguras tenaga lebih banyak. Mereka merasa diperlakukan secara tidak adil.
Bagaimana reaksi kita? Dipihak mana kita berdiri?
Di pihak si pemrotes? Atau di pihak si pemilik kebun anggur?
Saya tidak heran kalau banyak dari antara kita mendasarkan diri pada “prinsip keadilan” dan “prinsip kepantasan”, berdiri di kubu si pemrotes. Buruh – buruh itu layak menerima perlakuan yang “lebih adil” bukan?
Naluri saya pun begitu. Sebab memang itulah
“keadilan” menurut ukuran manusia. Yang membayar lebih mahal, berhak memperoleh
yang lebih baik. Yang memeras tenaga lebih banyak, berhak memperoleh imbalan
yang lebih besar. Yang memiliki ijazah lebih tinggi, berhak memperoleh gaji
lebih tinggi.
Tidak perlu ada perdebatan. Ini adalah formula
keadilan yang paling umum, paling universal, paling baku, paling klasik. Bahkan
telah disepakati sejak ribuan tahun sebelum Kristus. “Adil” artinya “setiap
orang memperoleh haknya masing – masing”.
Lalu mengapa Tuhan Yesus sepertinya berdiri di
pihak si pemilik kebun anggur? Apakah definisi “keadilan” versi manusia itu
tidak alkitabiah, tidak teologis, dan karena itu tidak “kristiani”? Tidak.
Pemahaman keadilan ada dasarnya dalam Alkitab.
Alkitab jelas mengatakan bahwa Tuhan sangat
memperhatikan kualitas kerja dan kinerja manusia. “Aku tahu segala pekerjaanmu”,
begitu Dia berkata (Wahyu 2:2). Tuhan juga membenci kaum pemalas. “Orang yang
bermalas – malas dalam pekerjaannya sudah menjadi saudara bagi perusak” (Amsal
18 : 9). Lalu, “Jika seorang tidak mau bekerja janganlah ia makan” (1
Tesalonika 3 : 10).
Tuhan sangat menghargai prestasi kerja manusia. Yang
rajin dan yang malas, yang berprestasi dan yang tidak berprestasi, ya beda. Salah
besar kalau kita menganggap bahwa bagi Tuhan “melakukan sesuatu” dan “tidak
melakukan sesuatu” nilainya sama saja. Tidak begitu!
Kalau begitu, bagaimana kita harus memahami
perumpamaan itu? Apa sebetulnya inti permasalahannya?
Perhatikanlah kalimat akhir dari pembelaan si
pemilik kebun anggur terhadap para pemrotesnya. “Atau iri hatikah engkau karena
aku murah hati? (ayat 15). Disitulah letak pangkal masalahnya ; IRI HATI.
Sama seperti yang terdapat dalam perumpamaan “Anak
yang Hilang”. Si anak sulung juga iri hati. Ia merasa diperlakukan tidak adil. Ia
memprotes keras kemurahan hati sang ayah terhadap adiknya (Lukas 15:29,30).
Sumber iri hati tidak lain adalah perasaan “berhak”
yang salah kaprah. Para pekerja kebun anggur itu protes karena merasa berhak
memperoleh upah lebih banyak. Si sulung protes, karena merasa berhak disambut
lebih meriah. Yang satu merasa telah bekerja lebih keras. Yang lain merasa telah
berkelakuan lebih baik.
Tuhan Yesus menjungkirbalikan perasaan “berhak”
mereka. Mereka menyangka dirinya “berhak”, padahal tidak. Mereka tidak tahu apa
yang mereka katakan. Sebab kalau kita berbicara tentang “hak”, maka satu – satunya
“hak” yang dimiliki oleh manusia hanya satu. “Hak” untuk dibinasakan!
Oleh karena itu, andaikata Tuhan benar – benar menerapkan
“keadilan” seperti yang kerap dituntutkan orang, alangkah mengerikan. Sebab yang
akan terjadi adalah, “keadilan” Allah akan membawa semua orang dibakar hangus
dalam api abadi. Gandum akan ikut tercabut bersama ilalang.
Syukurlah Tuhan tidak cuma “adil”, Dia juga murah
hati”. Semata – mata karena kemurahan hatiNyalah, pintu keselamatan dibukakan. Atau,
bila kembali ke perumpamaan tadi, syukurlah si pemilik kebun anggur itu
bermurah hati mempekerjakan mereka. Kalau tidak? Apa jadinya?!. Karena itu
sungguh letak pertanyaan ia : “Pantaskah kamu merasa iri karena Aku bermurah
hati?”
Jadi ada perbedaan yang hakiki antara “keadilan”
vesi Allah dan “keadilan” vesi manusia. “Keadilan versi manusia berdasarkan
pada hak. “Adil” berarti kita memperoleh hak kita. Hak masing – masing ditentukan
oleh jasa, prestasi dan karya masing – masing. Lalu bagaimana kalau orang sudah
renta dan tak mampu lagi menghasilkan apa – apa? Bagaimana dengan orang cacat
fisik ataupun jiwa sehingga tak mungkin lagi bekerja? Ya, hilanglah “hak”
mereka sebagai “manusia”.
“Keadilan” versi Allah berbeda. Dasarnya bukan pada
“hak” tetapi “kemurahan hati”. Sikap dasarnya bukan menuntut, melainkan member.
Karena itu bukan masing – masing menerima berdasarkan jasa dan prestasinya,
tetapi masing – masing menerima berdasarkan kebutuhannya.
Dari perspektif ini kita dapat mengerti, mengapa
yang bekerja satu jam memperoleh sama dengan yang bekerja sembilan jam. Mereka masing
– masing menerima satu dinar. Itu adalah biaya kebutuhan hidup pokok orang satu
hari. Artinya dalam hal menyangkut kebutuhan dasar untuk hidup layak sebagai
manusia, semua orang berhak mendaptkan “satu dinar”.
Jadi, misalnya Anda membayar untuk kelas VIP di
rumah sakit. Tentu saja Anda berhak memperoleh kamar yang lebih nyaman
dibandingkan mereka yang membayar untuk kelas tiga. Ini adil. Tapi dalam hal
pelayanan kesehatan, semua orang berhak untuk mendapatkan “satu dinar”. Tak peduli
apakah Anda orang kaya yang bisa memborong seluruh lantai rumah sakit, atau
Anda cuma pasien “kelas tiga”.
Sumber : Warta Jemaat GBI Demak